Seperti apa sih sebenarnya anak muda ideal saat ini?
.
.
.
.
.
Yang tau tempat nongkrong nongkrong terkini?
Yang udah mendaki puncak gunung tertinggi?
Yang aktif jadi aktifis mengkritisi keadaan di sekitar atau bahkan sampai pemerintahaan?
Yang jadi fans nomor satu, apapun fanbasenya mau korea, klub bola, Hollywood atau apapun lah itu?
Yang banyak kreasi di kegiatan seni?
Yang eksis di dunia maya? Vloger, instagramer, sampe laris di tawarin endorse?
Yang followernya segudang?
Yang pinter ambil foto berekstetika tinggi?
Yang punya pasangan teromantis?
Yang jadi juara olimpiade?
Yang baca ratusan hingga ribuan halaman buku?
Yang nonton ratusan judul film?
Yang banyak share info info –yang entah kebenaranya– di sosial media?
Yang mengebu gebu membela kaumnya? Rasnya? Agamanya?
Yang karyanya di niali rupiah tinggi dan menang tropi ?
Yang jadi objek foto setiap kamera?
Yang pakai merek –handphone, tas, sepatu, baju, make up, sampai beha dan kolor– nomor wahid?
Yang jadi teman terhebat didunia?
Yang memaknai dan menjalani segala sesuatu secara filosofis?
Yang menghasilkan potret diri terbaik?
Yang selalu tau apa yang baru?
Yang jadi anak nomor satu di Keluarga?
Yang serius religious?
.
.
.
.
Yang seperti apa yang ideal?
Saya sering melihat orang orang itu, atau bahkan mungkin menjadi salah satu dari itu dan menjadikan salah satu atau beberapa menjadi kriteria ideal saya sebagai anak muda.
Namun ini mulai terasa tidak nyaman.
Melihat mereka yang ada di sosial media berlomba lomba menjadi yang paling ideal, kekinian, hits, kritis, dan revolusioner.
“Tutup saja sosial media mu, dasar bodoh. Kamu terlalu baper” Demikian umpat saya untuk diri saya sendiri.
Tapi saya masih juga penasaran dengan pola mereka, penasaran dengan cara pandang mereka tentang dunia dan diri mereka sendiri.
Toh saya juga ikut terbawa, dan terhanyut dalam media yang terus berusaha mensosialisasikan segala yang baru setiap hari.
Perbincangan baru, tren baru, kewajiban baru, tapi patutnya saya sendiri perlu menyadari bahwa BARU yang tidak selalu di artikan PERLU.
Patutkah kita menuntut Ideal pada diri kita sendiri? Sudahkah cara kita benar memilih kriteria untuk menjadi IDEAL?
Seberapa jauh kita dari kata ideal yang kriterianya kita saya buat sendiri, Jadi apakah anda sudah IDEAL?
.
.
.
.
.
Yang tau tempat nongkrong nongkrong terkini?
Yang udah mendaki puncak gunung tertinggi?
Yang aktif jadi aktifis mengkritisi keadaan di sekitar atau bahkan sampai pemerintahaan?
Yang jadi fans nomor satu, apapun fanbasenya mau korea, klub bola, Hollywood atau apapun lah itu?
Yang banyak kreasi di kegiatan seni?
Yang eksis di dunia maya? Vloger, instagramer, sampe laris di tawarin endorse?
Yang followernya segudang?
Yang pinter ambil foto berekstetika tinggi?
Yang punya pasangan teromantis?
Yang jadi juara olimpiade?
Yang baca ratusan hingga ribuan halaman buku?
Yang nonton ratusan judul film?
Yang banyak share info info –yang entah kebenaranya– di sosial media?
Yang mengebu gebu membela kaumnya? Rasnya? Agamanya?
Yang karyanya di niali rupiah tinggi dan menang tropi ?
Yang jadi objek foto setiap kamera?
Yang pakai merek –handphone, tas, sepatu, baju, make up, sampai beha dan kolor– nomor wahid?
Yang jadi teman terhebat didunia?
Yang memaknai dan menjalani segala sesuatu secara filosofis?
Yang menghasilkan potret diri terbaik?
Yang selalu tau apa yang baru?
Yang jadi anak nomor satu di Keluarga?
Yang serius religious?
.
.
.
.
Yang seperti apa yang ideal?
Saya sering melihat orang orang itu, atau bahkan mungkin menjadi salah satu dari itu dan menjadikan salah satu atau beberapa menjadi kriteria ideal saya sebagai anak muda.
Namun ini mulai terasa tidak nyaman.
Melihat mereka yang ada di sosial media berlomba lomba menjadi yang paling ideal, kekinian, hits, kritis, dan revolusioner.
“Tutup saja sosial media mu, dasar bodoh. Kamu terlalu baper” Demikian umpat saya untuk diri saya sendiri.
Tapi saya masih juga penasaran dengan pola mereka, penasaran dengan cara pandang mereka tentang dunia dan diri mereka sendiri.
Toh saya juga ikut terbawa, dan terhanyut dalam media yang terus berusaha mensosialisasikan segala yang baru setiap hari.
Perbincangan baru, tren baru, kewajiban baru, tapi patutnya saya sendiri perlu menyadari bahwa BARU yang tidak selalu di artikan PERLU.
Patutkah kita menuntut Ideal pada diri kita sendiri? Sudahkah cara kita benar memilih kriteria untuk menjadi IDEAL?
Seberapa jauh kita dari kata ideal yang kriterianya kita saya buat sendiri, Jadi apakah anda sudah IDEAL?
Komentar
Posting Komentar