Menjadi Sederhana

Postingan ini akan jadi pointless, tak terarah, dan mungkin terdapat banyak kesalahan pengertian kata. Ini akan kembali jadi sebuah curahan suara di kepala saya, yang biasanya terbang begitu saja. Saya akan mengawalinya dengan sebuah draf lama saya yang tersimpan bualan lalu mengenai cita-cita.

-         Cita cita merupakan kata yang besar, dan tiap berkurangnya usia ia ikut menyusut pula. Pada akhirnya akan terhembus keadaan, pontang panting seperti lonceng yang berdentang. Saya telah menyederhanakanya. Saya tidak pernah serius menjawab pertanyaan tentang cita. Tidak pernah benar benar tau apa yang saya inginkan, hanya menjawab agar terdengar pantas atau membuat penanya puas dengan jawaban yang didengarnya. Dahulu ketika saya masih di taman kanak-kanak saya akan dengan bangga menjawab bahwa cita saya menjadi polwan. Namun ketika saya kelas dua sekolah dasar saya mulai bertanya, memangnya saya pantas untuk pekerjaan itu? Saya tidak cukup pintar, berani, dan cantik untuk pekerjaan itu. Mulai sekolah dasar bisa dibilang saya sudah tak lagi serius memikirkan cita. Pernah serius namun dengan mudah runtuh dengan cibiran dan pemikiran “yang dianggap” logis dari teman, keluarga dan guru. Pertanyaan mengenai cita menjadi pertanyaan paling saya benci semasa sekolah.
Bahkan saat ini saya hanya menitikan poin-poin pencapaian –seperti bucket list- untuk dicapai dibandingkan dengan menetapkan satu cita-cita. Saya menyerdehanakan cita-cita saya, saya merasa kurang memiliki kualifikasi untuk memiliki cita, lebih dari itu saya lelah dengan kekecewaan dalam cita saya. Saya menyerdahanakan cita menjadi poin yang harus dicapai agar terasa lebih positif dan dekat, saya akan menyimpan poin saya untuk diri saya sendiri, agar mereka yang tak tau cara membangun poin itu tidak dapat menertawakannya kembali. Satu poin yang sebentar saya raih, menjadi sarjana. Karna saya tinggal menunggu hari untuk wisuda.

Tulisan di postingan ini sunguh random, selanjutnya saya akan membahas tentang manusia dan media. Bukan hanya sosial media tapi juga manusia yang menjalankannya.
-         Sosial media sudah menjadi tempat lari saya dari kehidupan nyata sejak sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Menjadi fans salah satu penyayi dunia menjadi suatu hal yang menyenangkan, apalagi bisa menemukan banyak manusia lain yang memilki ketertarikan yang sama, walaupun hanya sekedar di dunia maya. Sekian tahun di sosial media sangat terasa arah perubahan yang terjadi, ini bukan saja mengenai layout berbagai portal sosial media atau berbagai situs penunjangnya yang berubah, pengunanya pun berubah. Saya pun berubah dari anak alay yang memuja sang idola, percaya segala berita mengenai mereka yang bersliweran, menjadi lebih sederhana dengan sikap cuek bebek dengan para seniaman itu mau ngapain aja asal mereka berkarya dan selama bisa menikmatinya ya saya nikmati, bila tidak bisa menikmatinya saya dengan mudah akan meninggalkannya, toh tinggal klik yang lainnya atau klik close saja. Saya terbiasa untuk tidak berkomentar terhadap segala yang ada di internet sejak lama, saya cenderung menahan diri.
Seperti yang saya katakana tadi penguna media berubah pula, dahulu sosial media cenderung untuk para muda dan kaum yang terpelajar. Namun sekarang siapapun dapat mengunakannya, tau lah apa yang terjadi. Jauh lebih buruk dari sekedar Fan War antar fans jaman saya jadi fans alay, padahal fanwar itu bisa dibilang chaos dan bikin nggak nyaman. Nah ini yang terjadi bukan sekedar fan war tapi war keyakinan, bertaruh menjadi yang paling benar, bertaruh mana berita yang paling benar, dan mereka bertaruh bahwa berbekal riset mereka –yang entah tervalidasi atau hanya riset internet sederhana– merasa menjadi yang paling benar.
Sosial media saya jadi tidak nyaman dengan adanya mereka, maka saya menyerdehankannya. Menghilangkan aura negative dengan unfriend, unfollow, dan lapor ke pihak sosial media. Menganti trending menjadi tempat lain yang kiranya jauh dari chaos yang ada, dan juga menghindarkan dari judul judul aneh yang ditulis heboh dan dikemas dengan thumbnail yang tak kalah heboh.

Dan sebagai pentup dari tulisan random ini, saya akan membahas satu hal yang akan sulit untuk saya sederhanakan. Yaitu rasa syukur.
-         Saya bersyukur untuk segala yang terjadi dalam hidup saya dimana Tuhan sangat bermurah kepada saya, begitu banyak nikmat sederhana yang saya rasa sertiap harinya dan rasa syukur karna saya sudah selamat sampai pada titik ini, sejauh ini, dengan segala hal yang telah terjadi dalm hidup saya. Saya bersyukur pula atas semua perjalan sederhana yang telah saya lewati, dan berbagai hal yang telah saya pelajari. Dan bersyukur untuk segala keyakinan sederhana mengenai berbagai hal, seperti cinta. Belum mencapai cinta saya terhadap seseorang, namun mengenai pengambaran mengenai cinta. Dimana saya melihat cinta sebagaimana cinta, tanpa lagi embel embel dibelakangnya. Saya akan menilai cinta yang dialami siapapun sebagaimana seharusnya saya berfokus pada cinta mereka bukan pada raga yang membalut cinta tersebut, karna cintalah yang menang. Syukur lainnya untuk pengambaran saya terhadap semesta, bahwa kita merupakan bagian kecil dari semesta, bagian kecil yang seharusnya jadi berarti, sekalipun belum bisa berarti untuk siapapun, tapi saya bersyukur dari semesta ini saya berarti untuk diri saya sendiri.






Sebuah tulisan yang bisa kapanpun berubah, toh ini sebuah blog random sederhana. Kalo saya bikin review buku pasti lebih banyak yang baca wkwkwk.

Komentar